Beranda | Artikel
Konsep Iman, Antara Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bidah
Kamis, 12 Desember 2013

grand

Iman dalam Pandangan Ahlus Sunnah

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, amal dengan anggota badan, keyakinan dengan hati. Ia dapat bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad al-Hadi ila Sabil ar-Rasyad oleh Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 98)

Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan, “Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 47)

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Iman harus mencakup ketiga perkara ini; keyakinan, ucapan, dan amalan. Tidak cukup hanya dengan keyakinan dan ucapan apabila tidak disertai dengan amalan. Dan setiap ucapan dan amalan pun harus dilandasi dengan niat. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits, “Sesungguhnya setiap amalan itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Begitu pula, bersatunya ucapan, amalan, dan niat tidaklah bermanfaat kecuali apabila berada di atas pijakan Sunnah. Karena sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya maka pasti tertolak.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam lafal Muslim disebutkan juga, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan dari tuntunan kami maka dia pasti tertolak.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 145)

Para ulama mengatakan, “Bukan termasuk paham Ahlus Sunah pendapat yang mengatakan bahwa iman adalah sekedar pembenaran hati! Atau pembenaran hati dan diiringi dengan ucapan lisan -saja- tanpa disertai amal anggota badan! Barangsiapa yang berpendapat semacam itu maka dia adalah orang yang sesat, dan ini merupakan -keyakinan- madzhab Murji’ah yang sangat buruk itu!” (lihat Mujmal Masa’il al-Iman al-Ilmiyah, hal. 14).

Iman dalam Pandangan Murji’ah

Kalangan Murji’ah memiliki empat pendapat dalam hal iman:

Pertama, mereka mengatakan bahwa iman adalah ma’rifah/pengakuan di dalam hati. Apabila seorang sudah mengakui Rabbnya maka dia sudah dikatakan beriman. Ini adalah pandangan kaum Jahmiyah. Konsekuensi pendapat mereka ini adalah bahwasanya Iblis juga beriman. Iblis mengatakan, “Wahai Rabbku, karena Engkau telah memutuskan aku sesat.” (QS. al-Hijr: 39). Bahkan, Fir’aun dan semua orang kafir pun dinilai beriman karena mereka semuanya mengakui Allah sebagai Rabb mereka. Sehingga artinya, tidak ada seorang pun yang kafir di atas muka bumi ini. Ini adalah pendapat yang paling keji.

Kedua, mereka mengatakan bahwa iman adalah tashdiq/pembenaran di dalam hati. Mereka memandang bahwa pengakuan semata belum cukup, tapi harus disertai dengan pembenaran. Ini merupakan pendapat kaum Asya’irah, dan ini adalah pendapat yang salah. Orang-orang kafir pun pada dasarnya telah membenarkan dengan hati mereka. Allah ta’ala berfirman tentang Fir’aun dan para pengikutnya, “Dan mereka menentangnya, padahal mereka telah meyakininya di dalam hatinya, itu dikarenakan sikap aniaya dan ingin menyombongkan diri.” (QS. an-Naml: 14). Banyak orang kafir yang membenarkan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi mereka tidak mau mengikutinya karena sombong dan fanatik terhadap ajaran nenek moyang mereka. Seperti halnya apa yang menimpa kepada Abu Thalib, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketiga, mereka mengatakan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan diucapkan dengan lisan. Mereka inilah yang dikenal dengan kaum Murji’ah Fuqoha. Diantara panganut paham ini adalah kalangan Hanafiyah. Mereka mengatakan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan pengucapan dengan lisan. Mereka tidak memasukkan amal dalam hakikat iman.

Keempat, mereka yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan dengan lisan. Ini merupakan pendapat kaum Karramiyah. Konsekuensi dari pendapat ini adalah kaum munafik juga termasuk orang beriman, sebab mereka juga mengucapkan dua kalimat syahadat.

Inilah keempat pendapat kaum Murji’ah. Semua pendapat ini adalah keliru dan menyesatkan. Adapun pendapat yang benar adalah apa yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwasanya iman itu mencakup ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad karya Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hal. 178-181)

Iman dalam Pandangan Khawarij dan Mu’tazilah

Sekte Mu’tazilah dan Khawarij mendefinisikan iman sebagai ucapan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan anggota badan dan menurut mereka iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Meskipun demikian, mereka berbeda pendapat dalam menghukumi pelaku dosa besar. Mu’tazilah mengatakan bahwa pelaku dosa besar berada dalam posisi di antara dua keadaan -yaitu di antara Islam dan kekafiran- sehingga dia tidak kafir tapi juga tidak muslim. Adapun Khawarij mengatakan pelaku dosa besar halal darah, harta, dan harga dirinya ketika di dunia, dan di akherat ia kekal di neraka. Ini jelas merupakan perkataan yang mengatasnamakan Allah tanpa ilmu apabila dosa besar -yang dimaksud- bukan tergolong syirik akbar, kufur akbar, atau nifak i’tiqadi. Mu’tazilah sepakat dengan Khawarij dalam hal hukum akherat yaitu bahwa pelaku dosa besar meskipun ia adalah seorang muwahhid maka dia kekal di dalam neraka. Hukum yang zalim ini telah dimentahkan oleh dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui (meyakini) bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah maka dia pasti akan masuk surga, meskipun Allah ta’ala memberikan siksa kepadanya sesuai dengan kadar dosa besar yang dilakukannya. Yang jelas akhir perjalanan hidupnya adalah surga. Inilah madzhab yang dianut oleh Ahlus Sunah wal Jama’ah (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 170-171 karya Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah)

Dalam menyikapi pelaku dosa besar ada tiga kelompok utama yang menyimpang dari jalan yang lurus yaitu Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Khawarij menganggap bahwa pelaku dosa besar kafir -di dunia- dan -di akherat- kekal di dalam neraka. Adapun Murji’ah menganggap bahwa pelaku dosa besar seorang mukmin yang sempurna imannya dan tidak ada hukuman [siksa] yang harus dijatuhkan kepadanya. Sementara  Mu’tazilah menganggap bahwa pelaku dosa besar di dunia tidak kafir tapi juga tidak beriman atau dikenal dengan istilah manzilah baina manzilatain (suatu posisi di antara dua keadaan). Meskipun demikian, Mu’tazilah sepakat dengan Khawarij dalam menghukumi pelaku dosa besar di akherat kelak akan kekal di neraka (lihat Mu’jam Alfazh al-‘Aqidah, hal. 331)

Mutiara Hikmah Ulama Tentang Iman

‘Umair bin Habib radhiyallahu’anhu berkata, “Iman mengalami penambahan dan pengurangan.” Ada yang bertanya, “Dengan apa penambahannya?” Beliau menjawab, “Apabila kita mengingat Allah ‘azza wa jalla dan memuji-Nya maka itulah penambahannya. Apabila kita lupa dan lalai maka itulah pengurangannya.” (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 511)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dicapai semata-mata dengan menghiasi penampilan atau berangan-angan, akan tetapi iman adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1124)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Iman yang sejati adalah keimanan orang yang merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla walaupun dia tidak melihat-Nya. Dia berharap terhadap kebaikan yang ditawarkan oleh Allah. Dan meninggalkan segala yang membuat murka Allah.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1161)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sebagian orang enggan untuk mudaawamah [kontinyu dalam beramal] . Demi Allah, bukanlah seorang mukmin yang hanya beramal selama sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun. Tidak, demi Allah! Allah tidak menjadikan batas akhir beramal bagi seorang mukmin kecuali kematian.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1160)

Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah berkata, “Apabila seorang hamba telah merasa malu kepada Rabbnya ‘azza wa jalla maka sungguh dia telah menyempurnakan imannya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 291)

Hasan al-Bashri rahimahullah menjelaskan tentang sifat orang-orang beriman yang disebutkan dalam firman Allah [QS. Al-Mu’minun: 60] yang memberikan apa yang bisa mereka berikan dalam keadaan hatinya merasa takut. Al-Hasan berkata, “Artinya, mereka melakukan segala bentuk amal kebajikan sementara mereka khawatir apabila hal itu belum bisa menyelamatkan diri mereka dari azab Rabb mereka ‘azza wa jalla.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1160)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/konsep-iman-antara-ahlus-sunnah-dengan-ahlul-bidah/